Dahulu kala terdapat sebuah batu
besar, bulat, tinggi, bagian atasnya datar, dan seakan menggantung pada tebing
sebuah bukit. Sesuai dengan namanya yaitu “nong” yang dapat diartikan sebagai
“melihat ke bawah dari atas”, orang dapat melihat pemandangan di sekelilingnya
dengan jelas apabila berada di atas batu nong. Namun haruslah berhati-hati karena
jika dilihat dari bawah posisi batu nong sangatlah “mengkhawatirkan.” Apabila
terjadi suatu getaran di perut bumi, kemungkinan batu tersebut akan runtuh.
Bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar Kecamatan Alas, batu nong bukanlah sekadar batu biasa yang terbentuk
oleh alam. Batu nong memiliki “sejarahnya” sendiri yang tersaji dalam sebuah
cerita rakyat. Berikut ini adalah kisahnya.
Alkisah, tersebutlah sebuah negeri
makmur, aman, dan damai. Di negeri ini tidak pernah terdengar perselisihan di
antara penduduknya. Mereka, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang
sama, kecuali sebuah larangan bagi seorang laki-laki mencuci pantat anaknya
yang baru selesai buang air besar. Larangan atau tabu mencuci pantat anak ini
diyakini benar oleh warga masyarakat karena konon dapat mendatangkan malapetaka
bagi yang melanggarnya.
Suatu hari, terdengarlah berita
bahwa negeri tetangga akan mengadakan sebuah perhelatan besar. Sudah barang
tentu berita ini disambut gembira oleh semua orang, tidak terkecuali sebuah
keluarga di negeri yang mempunyai tabu “aneh” itu. Sang Isteri dalam keluarga
itu merengek pada suaminya agar diizinkan menonton keramaian. Alasannya, sejak
kawin hingga anaknya tidak menyusu lagi belum pernah mendapat kesempatan
menonton keramaian.
“Bolehkah saya menonton keramaian di
negeri tetangga?” tanya Sang Isteri.
“Kalau nanti anak kita buang air
besar bagaimana?” tanya Sang Suami.
“Saya tidak akan menginap. Tunggu
saya datang saja baru dibersihkan,” kata isterinya lagi.
“Baiklah kalau engkau tetap
bersikeras hendak menonton,” kata suaminya mengalah.
Perkiraan Sang Isteri ternyata salah
karena untuk dapat mencapai lokasi keramaian di negeri tetangga dibutuhkan
lebih dari satu hari perjalanan. Dan, ketika sampai di sana dia pun lupa pada
anak dan suaminya hingga tidak terasa telah tiga hari waktu berlalu.
Sementara di rumah, Sang suami sudah
mulai tidak tahan mencium bau yang sangat busuk. Bau itu keluar pantat anaknya
yang telah tiga kali buang kotoran. Oleh karena sudah tidak kuat lagi, dia lalu
membawa anaknya ke kamar mandi untuk dibersihkan. Dia tidak menyadari kalau hal
itu merupakan sebuah tabu yang dapat mendatangkan malapetaka berupa kutukan.
Malam harinya, kutukan itu pun
datang. Sekujur tubuh Sang suami secara perlahan mulai bersisik, tangan dan
kakinya mengerut dan akhirnya menjadi seekor naga yang berkepala manusia.
Barulah dia sadar kalau telah melanggar tabu, tetapi apa hendak dikata, nasi
pun telah menjadi bubur.
Beberapa hari setelahnya, Sang
isteri pulang bersama teman-teman sekampungnya. Sesampainya di rumah, dia
terkejut dan langsung menjerit melihat tubuh suaminya yang telah beralih wujud
menjadi seekor naga.
Agar isterinya tidak sedih bercampur
malu, Sang Suami berkata, “Wahau Isteriku, janganlah engkau bersedih. Ini semua
akibat perbuatanku yang secara tidak sengaja membasuh pantat anak kita. Aku
sudah tidak tahan mencium bau busuk dari kotoran yang dikeluarkan anak kita”.
“Lalu aku harus berbuat bagaimana,”
tanya Sang isteri kebingungan.
“Sekarang belilah sebuah tempayan
besar di pasar. Kemudian, masukkanlah aku dalam tempayan itu dan taruh di tepi
sungai,” kata Sang suami.
Dengan perasaan sedih bercampur
penyesalan, Sang isteri pun menuruti perintah suaminya. Dan, sejak saat itu
setiap hari dia selalu pergi ke tepi sungai untuk mengantarkan makanan bagi
suaminya. Hal itu dilakukannya selama bertahun-tahun hingga suatu hari
terjadilah peperangan dengan negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri menjadi
porak-poranda hingga mengakibatkan banyak orang kehilangan nyawanya.
Sementara yang masih hidup berusaha
mengungsi untuk menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang bersembunyi di dalam
hutan, ada yang bersembunyi di puncak gunung, dan ada pula yang memanfaatkan
sungai untuk pindah ke tempat lain menggunakan perahu. Diantara para pengungsi
yang menggunakan perahu tersebut adalah isteri Sang Naga.
Sang isteri bersama puluhan orang
lainnya berlayar selama berhari-hari mencari daerah yang dianggap aman.
Rombongan pengungsi itu tidak sadar kalau ada sebuah tempayan besar berisi
seekor ular naga yang selalu mengikuti hingga mereka berhenti di suatu tempat
dekat muara Sungai Lekong.
Malam harinya ketika sebagian
pengungsi sudah terlelap dalam gubuk-gubuk sederhana yang masih bersifat
sementara, tiba-tiba Sang pemilik perahu merasa perutnya mulas dan ingin buang
air besar. Dengan tergopoh-gopoh, dia berjalan menuju perahunya untuk buang air
di tepi muara sungai. Tetapi sebelum sempat melaksanakan hajatnya, dia terkejut
karena melihat sebuah tempayan besar yang menghalangi aliran air sungai.
Sang pemilik perahu menjadi lebih
terkejut lagi ketika mendengar sebuah suara dari dalam tempayan, “Aku harus
pindah ke tebing di bukit itu. Tubuhku sudah tidak muat lagi dalam tempayan
ini.”
Belum sempat hilang dari rasa
keterkejutannya, tiba-tiba Sang pemilik perahu melihat tempayan itu terbang dan
menempel pada tebing di dekat para pengungsi mendirikan gubuk. Ketika telah
menempel di tebing, berangsur-angsur tempayan tersebut berubah menjadi sebuah
batu besar.
Pagi harinya, ketika seluruh
pengungsi sudah bangun dari tidurnya, Sang Juragan Perahu langsung menceritakan
pengalamannya yang luar biasa itu. Penasaran akan cerita Sang Juragan Perahu,
para pengungsi pun lantas beramai-ramai naik ke bukit. Setelah sampai di atas
bukit, sebagian diantaranya berdiri di atas batu besar itu. Dari atas batu
ternyata mereka dapat melihat alam semesta yang terbentang indah, terutama
daratan yang berada di bawahnya. Oleh karena takjub, batu tersebut kemudian
mereka beri nama Batu Nong yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
“batu tempat melihat ke bawah dari atas”.